Selamat Ulang Tahun Indonesia
7:53 AM
Siang itu langit gelap. Hujan turun
cukup deras, angin sukses meniup rambut saya hingga bentuknya nggak
karuan. Badan saya sedikit menggigil
kedinginan karena cuma memakai kaos.
Rupanya
nggak cuma remaja, cuaca juga bisa labil aka galau. Saya nggak ngira kalau tiba-tiba hujan lebat begini karena tadinya panasnya luar biasa. Tipe panas yang
baru jemur baju 10 menit bisa kering, kira-kira seperti itulah.
Terus memangnya saya dimana?
Saya meringkuk
kedinginan di salah satu pojok bangku coffee shop di samping perpustakan
wilayah termegah di kota ini. Hari ini
hari Jumat dan saya nggak tahu kalau perpustakaan ini tutup untuk
istirahat.
Daripada pulang dan sangat amat
yakin kalau pulang pasti nggak balik lagi, makanya saya niatin menunggu sampai
buka. Lengkaplah sudah saya menunggu diiringi angin yang semriwi.
Saya bela-belain nunggu karena di dalam mau ngerjain
tugas akhir. Dengan pertimbangan bahwa untuk kesini aja
harus gontok-gontokan dulu sama malas tumben menang. Dan rekor menang dari malas ini langka,
makanya saya nggak mau hari ini sia-sia.
Waktu sudah menunjukkan jam 14.00
tetapi saya sama sekali nggak melihat petugasnya. Malah petugas kebersihan yang kelihatan udah siap dengan alat tempurnya dan beberapa karyawan membuka lagi coffee shop-nya.
Btw, kedai kopinya juga tutup. Saya nunggu di bagian sebelah luar.
Btw, kedai kopinya juga tutup. Saya nunggu di bagian sebelah luar.
Sedangkan perpustakaannya sendiri nihil
pegawai. Terus dimana pegawai
perpustakaan ini? Apa mereka sedang bermain tak umpet? Sepertinya tidak. Apa karena hujan deras? Kalau hujan deras terus kenapa petugas
kebersihan dan karyawan coffee shop tersebut bisa datang tepat waktu? Tanya kenapa?
Di luar saya ngeliat sudah mulai banyak orang yang nunggu untuk masuk. Ke mana mereka? Apa mereka salah alamat? Nyasar ke rumah Ayu
Tingting?
Memang dasarnya anak SMA itu energinya
berlebihan, anak SMA di depan saya mulai hilang kesabarannya sifat barbar
mereka muncul.
Mereka mulai mendekati pintu menerobos untuk masuk, salah satu petugas yang saya tahu memang nggak pulang ngomong bahwa perpustakaannya belum buka, pegawainya belum datang sabar. yah. Sabar? Oke deh kakak.
Mereka mulai mendekati pintu menerobos untuk masuk, salah satu petugas yang saya tahu memang nggak pulang ngomong bahwa perpustakaannya belum buka, pegawainya belum datang sabar. yah. Sabar? Oke deh kakak.
Saya berpikir perpustakaan ini megah
sekali, saya yakin cuma beberapa kota besar bahkan atau memang satu-satunya
kota yang seniat ini bikin perspustakaan semegah ini.
Tapi yah, sayangnya perpustakaan semegah ini nggak dibarengi dengan sikap dan budaya yang megah juga.
Tapi yah, sayangnya perpustakaan semegah ini nggak dibarengi dengan sikap dan budaya yang megah juga.
Entah apa yang terjadi di dalam sana akhirnya
perpustakaan ini buka juga. Saya melirik jam tangan menunjukkan 14. 34, Oh, baiklah! Saya pun menutup laptop menyimpan tulisan yang baru separuh jadi dan
masuk.
Kejadian di perpustakaan ini nggak hanya
itu, beberapa hari kemudian saya kembali lagi ke sana dengan niat yang masih sama.
Mengerjakan tugas akhir (pencitraan).
Kali
ini pagi-pagi saya datang dan di hari biasa jam istirahatnya nggak ada. Senang nggak perlu was-was diusir karena kepotong
jam istirahat.
Setelah berjam-jam berjibaku, padahal lebih banyak ngelamunnya. Saya mutusin untuk menyudahi mengerjakan romusha ini. Beres..beres! Pulang..pulang senandung ini mengiringi saya di dalam hati menuju ke penitipan tas.
Setelah berjam-jam berjibaku, padahal lebih banyak ngelamunnya. Saya mutusin untuk menyudahi mengerjakan romusha ini. Beres..beres! Pulang..pulang senandung ini mengiringi saya di dalam hati menuju ke penitipan tas.
Secara nggak sengaja saya menangkap obrolan pegawai
di penitipan tas. Bukan bermaksud nguping tapi emang nggak sengaja terdengar. (Wanita
umur sekitar 38-an dengan seragam coklat khas,)
“Bang aku titip tas, taruh aja dibawah situ. Biar nggak kelihatan baru datangnya." Gubrak!
“Bang aku titip tas, taruh aja dibawah situ. Biar nggak kelihatan baru datangnya." Gubrak!
Saya berharap tiba-tiba datang The Changcuters sambil nyanyi ‘Hap..hap..hap..hap, tangkap! Tangkap! Reflek saya melihat jam besar yang berada
persis di depan dinding dan jam menunjukkan pukul 12.45 siang.
Uwow hebat yah, saya ingat jelas dia
siapa. Wanita itu adalah wanita judes
petugas administrasi di atas. Waktu itu saya berurusan dengannya waktu pengen buat
kartu perpustakaan dan cara ngomongnya tipe orang ‘Kamu yang butuh, saya orang
penting disini!’ seperti itulah bisa dibayangkan kan seperti apa. Dikarenakan itu
saya nggak jadi bikin kartu, malesin udah.
Selain itu saya pernah ke kantor Imigrasi. Saya ke sana dalam rangka jadwal pengambilan
paspor. Di jadwal diharuskan melakukan
pengambilan paspor pada hari Jumat.
Dikarenakan
hari Jumat saya milih untuk ngambilnya setelah istirahat siang, nggak milih sih
emang bangunnya telat aja gitu. Sudah pasti
bukanya lama, saya sengaja datang ditelat-telatin. Jam dua kurang saya baru sampai.
Yah, bisa ditebak dan diduga saudara-saudara loket
pengambilan paspor masih kosong melompong. Saya duduk menunggu dan nggak sengaja mata saya menangkap selembar HVS
yang ditempel di dinding.
Ternyata HVS itu
tertera jadwal kerja jam operasional kantor ini. Istirahat di hari Jumat itu dari jam 12.00–13.30. Oh, berarti seharusnya loket ini
sudah buka jam setengah dua lalu dan sekarang ya, gitu deh.
Akhirnya setelah jam menunjukkan angka 14.30
barulah datang seorang wanita muda menuju loket tersebut. Apakah langsung
dibuka? Oh, tentu tidak. Sang petugas terlihat sibuk memoles wajahnya dulu.
Mungkin dia ingin terlihat selalu segar dan kece di mata pengambil
paspor. Menurut saya nggak usah make-up
pasti juga wajahnya udah segar banget wong istirahatnya lama gitu.
Lagi-lagi saya cuma diam mengamati. Akhirnya setelah melakukan ritual
mempercantik wajah, loket pun dibuka. Saya serahkan tanda bukti, fotokopi dan paspor pun sudah di tangan.
Di lain kesempatan saya menemani Ibu
saya belanja ke pasar tradisional.
Sebagai anak yang baik dan berbakti ehem saya diajak untuk
nenteng-nenteng belanjaan.
Mata saya
melihat sesuatu yang sudah tidak asing. Tentu saja tidak asing diantara kerumunan pasar ini, karena dia begitu
khas. Khas dengan baju seragam coklat
milik pemerintah. Kadang terlihat berdua atau bertiga dengan orang yang berbeda
dengan pakaian yang sama.
Saya menghela
napas ini jam berapa? Bukannya seharusnya saat ini mereka sedang bekerja. Kita para rakyat yang menggaji mereka. Terus apa yang mereka lakukan disini? Belanja
pemerintah? Seragam coklat ini nggak
cuma di pasar tapi kita bisa menemukan mereka dimana-mana.
Saya nggak ngerti apa pegawai ini sekarang
sudah alih profesi dari pegawai kantoran jadi pegawai lapangan. Saking lebih sering terlihat di berbagai
lapangan ketimbang di kantoran. Suatu
hari saya bisa menemui mereka di mall terus di warung kopi pinggir jalan.
Saya melihat kerja mereka santai kayak di
pantai, asik kayak di Tasik. Saya tak
heran kalau seluruh orang di negeri ini berebut menjadi pegawai pemerintah
ini. Bahkan mereka rela mengeluarkan
uang berpuluh-puluh juta agar bisa masuk. Yang punya kenalan orang dalam istilahnya bisa nitip.
Bahkan pemerintah melakukan penyerapan
besar-besaran pegawai pemerintah ini dengan anggapan untuk mengurangi
pengangguran. Pembuangan APBN yang
sia-sia hanya untuk sekelompok orang yang tak pernah benar-benar mendedikasikan
dirinya untuk bekerja dengan baik dan sesuai aturan
Berbanding berbalik dengan kejadian di
atas. Saya beruntung bisa merasakan
magang 6 bulan full time di salah
satu perusahaan minyak asing terbesar di negeri ini. Bukannya mau muji berlebihan tapi saya
melihat dan merasakannya sendiri.
Saya
ngerasain kedisiplinan yang tinggi sekali di lingkungan kerja ini. Semua serba
teratur, semua serba sesuai prosedur. Tidak ada kata untuk melanggar aturan apapun jabatan kamu disana. Semua dapat hak yang sama, semua
dihargai.
Semakin hebat semakin tinggi
jabatannya maka semakin ramahlah orangnya. Mereka sangat rendah hati nggak terlihat tinggi hati padahal saya tahu
mereka orang hebat dengan gaji ribuan dolar. Tapi tidak terbesit sedikit pun mereka untuk
sombong.
Datang sebelum waktunya dan
pulang setelah waktunya. Tidak heran
generasi remaja kita yang pintar ingin bekerja di perusahaan asing. Apa berbau tidak nasionalis?
Saya pernah merasakan kuliah kerja
nyata atau sering disebut KKN. Ditempatkan
di salah satu desa kecil bersama 6 orang rekan lain dari berbagai fakultas dan
tidak pernah saling mengenal sebelumnya.
Selama dua bulan kami bertujuh harus
melakukan sesuatu untuk kemajuan desa ini dan survive. Bertujuh dan cowoknya cuma dua orang, yah kita
tahu populasi cowok memang semakin menipis.
Keberlangsungan air berada di tangan mereka, seemansipasinya wanita tapi kalau nimba air sumur dalam yang nggak ada habisnya siapa kuat bo, maka disinilah peran jejaka ini begitu berarti.
Keberlangsungan air berada di tangan mereka, seemansipasinya wanita tapi kalau nimba air sumur dalam yang nggak ada habisnya siapa kuat bo, maka disinilah peran jejaka ini begitu berarti.
Apapun warna pakaian dipastikan semua berubah menjadi kuning dikarenakan airnya putih bersih, yah enggaklah, airnya kuning mempesona.
Listrik nggak hidup 24 jam tapi cuma hidup dari pukul 17.00 sore sampai 07.00 pagi begitulah setiap harinya dan akan mati dari jam 07.00 pagi sampai 17.00 sore.
Sehingga ketika lampu hidup bisa dibayangkan
apa yang terjadi perang demi keberlansungan hidup dan matinya hp. Nggak ada semacam hiburan tipi maupun radio. Nggak ada pasar. Apa saya stres? Nggak saya biasa saja, saya coba nikmati
semua yang terjadi.
Selama beberapa hari saya di sini. Saya diam mengamati. Desa ini tidak terlalu terpencil dan
tertinggal, akses jalannya mulus. Posko saya
berada di tepi jalan aspal. Saya tahu di
luar sana masih banyak yang lebih dari ini, lebih parah. Seenggak punyanya
mereka setidaknya mereka punya satu buah televisi dan satu buah sepeda motor.
Tapi dengan kondisi seperti ini saja saya
hati saya sudah kelu. Mereka memang
tidak terlalu tertinggal tapi pola pikir mereka yang masih tertinggal. Tertinggal dibayang-bayangi keadaan. Pemuda hilir mudik tanpa pekerjaan menanti
entah apa.
Satu rumah bisa ditempati
entah sampai generasi berapa. Dipastikan
dari ujung ke ujung mereka semua kenal dan bersaudara karena cencerung menikah
dengan penduduk setempat
Sekolah? Sekolah mereka layak. Cuma tingkat pehamaman mereka yang tidak sesuai dengan tingkat kelas. Pehamaman mereka tentang pelajaran di bawah standart.
Sekolah? Sekolah mereka layak. Cuma tingkat pehamaman mereka yang tidak sesuai dengan tingkat kelas. Pehamaman mereka tentang pelajaran di bawah standart.
Lalu dengan semua keterbatasan itu apa
adil rasanya pemerintah menyelenggarakan Ujian Akhir Nasional atau yang sering
disingkat UAN? Menyetarakan soal ujian
dari sekolah pelosok desa dengan sekolah mentereng di kota besar?
Mereka tidak punya alat yang canggih, mereka
tidak punya lulusan guru dari sekolah terkenal atau bahkan lulusan luar. Buku mereka seadanya. Kursi bangku mereka berbagi. Mereka cuma dijejali teori karena untuk
praktek mereka tidak punya perlengkapan.
Bagaimana bisa menjadi murid global yang tahu perkembangan dunia,
listrik saja tidak hidup?
Terus dengan semua pengalaman itu apa saya
membenci negeri ini? Tentu Tidak! Terlalu egois rasanya kalau saya membenci
negeri ini dengan segala ketimpangannya.
Saya dengan jujur dari nurani hati yang paling dalam menyatakan saya
sangat mencintai negeri ini. Bagaimana
bisa saya membenci negeri yang saya minum air dari tanahnya. Tumbuh di dekapannya. Menghirup
udaranya. Makan dari hasil pertaniannya.
Saya cinta Indonesia.
Saya cuma berharap
Indonesia (mampu) tersenyum. Senyum tulus semua masyarakatnya. Tidak ada lagi merasa yang dirugikan,
ditelantarkan, dikhianati, diduakan oleh negeri ini.
Apa yang saya bisa saya lakukan untuk
Indonesia di hari esok? Saya sadar sampai hari ini saya belum melakukan apa-apa
untuk membawa perubahan dalam negeri ini. Yang saya hanya bisa lakukan hanya baru sekedar menjadi warga negara
yang baik.
Mentaati semua peraturan yang
telah diberlakukan pemerintah tidak bersikap anarkis dan apatis. Contoh yang sangat kecil tidak buang sampah
sembarangan, mentaati rambu lalu lintas.
Tidak hanya ketika ada polisi baru semua gegalapan. Budayakan mengantri hentikan calo dan
tindakan kecil lainnya.
Terdengar sangat
klise memang. Yang saya yakini walau
hanya sekeping tindakan kecil tapi bila disatukan bukankah menjadi kesatuan
yang utuh. Apalagi dilakukan oleh semua
masyarakat Indonesia yang beratus juta ini, bukannya tindakan kecil itu
mempunyai efek yang sangat besar?
Dulu sewaktu
kecil pasti kita semua pernah mendengar satu lidi tidak mempunyai kekuatan
apa-apa. Tapi bila lidi itu disatukan
dan dikumpulkan? Kalian tahu apa yang
bisa dilakukannya.
Sesuatu yang besar juga pasti dimulai
dari sesuatu yang kecil. Tidak usah
muluk-muluk setiap orang di negeri ini saja mau sedikit menengahkan egonya dan
hidup dalam demokrasi yang bertanggung jawab. Bukannya demokrasi yang sesuai keinginan masing-masing.
Tidak usah sibuk mengurusi yang bukan
urusannya. Urus dulu diri sendiri untuk
melakukan hal yang baik. Kuncinya adalah
kesadaran diri. Sadar akan hukum
bukannya takut akan hukum.
Percayakan saja semua pada pemerintah. Ketika kita sudah percaya kepada pemerintah. Seharusnya pemerintah pun harus jujur pada masyarakatnya.
Percayakan saja semua pada pemerintah. Ketika kita sudah percaya kepada pemerintah. Seharusnya pemerintah pun harus jujur pada masyarakatnya.
Ketika ada orang yang sangat percaya pada
kita apa tega kita menyakitinya Pastinya tidak. Kita akan berusaha jujur kepadanya karena
tidak ingin mengkhianati kepercayaannya. Yang pertama kita lakukan percaya saja dulu.
Bagaimana negeri ini bisa maju kalau kita
sudah curiga dari awal dan tidak percaya. Layaknya hubungan, hubungan yang tidak dilandasi kepercayaan pasti tidak
akan bertahan.
Begitu juga negeri ini, kalau rakyatnya sudah tidak lagi percaya dengan pemerintah mau dibawa kemana negeri ini?
Begitu juga negeri ini, kalau rakyatnya sudah tidak lagi percaya dengan pemerintah mau dibawa kemana negeri ini?
Bagaimana pemerintah bisa dipercaya
kalo pemerintah telah berkhianat pada rakyatnya? Korupsi semakin merajalela. Mereka yang duduk atas nama pemerintah tidak
pernah memikirkan rakyatnya? Iya, saya
tahu nada skeptis itu.
Saya juga tahu
koruptor bukan hal yang aneh disana. Suap menyuap menjadi hal yang biasa. Anggaran yang telah bocor kemana tak tahu
rimbanya. Bagaimana kita bisa percaya
orang seperti itu?
Lagi-lagi nada pesimis. Saya yakin siapapun presidennya. Keadaannya akan selalu tetap begini. Pemerintah berkhianat dan masyarakat hilang kepercayaan. Lalu bagaimana kita bisa menghentikannya?
Sampai sekarang saya juga masih bingung. Mahasiswa yang sering disebut agent of change terkadang juga tidak
menggunakan akal sehatnya mereka bertindak seperti preman dan anarkis.
Pria pintar berdasi lulusan luar negeri yang duduk di kursi empuk disana juga kelakuannya tidak sepintar otaknya. Lalu bagaimana?
Pria pintar berdasi lulusan luar negeri yang duduk di kursi empuk disana juga kelakuannya tidak sepintar otaknya. Lalu bagaimana?
Saatnya hati yang bicara. Kita tidak bisa melakukan apa-apa kalau hati
kita masih kotor. Hati kotor pikiran
kita juga ikutan kotor.
Terus bagaimana hatinya bisa bersih semua? Kembali lagi ke masing-masing individu.
Terus bagaimana hatinya bisa bersih semua? Kembali lagi ke masing-masing individu.
Bukanya
katanya semua ingin Indonesia berubah? Ya, harus sadar diri. Selama hati kita tak seragam jangan berharap
Indonesia berubah. Ini saatnya kita tak hanya bicara tapi wujudkan.
Tak hanya berharap tapi wujudkan. Kita ini maunya banyak tapi tidak mau
melakukan banyak. Semua cuma sekedar
wacana. Saya tahu tidak semua pegawai
bewarna coklat mempunyai perangai pemalas masih ada yang bekerja sesuai aturan.
Saya tahu tidak semua perusahaan asing itu baik terutama bagi negeri ini. Saya tahu tidak semua mahasiswa itu bisanya
demo anarkis, masih ada yang mampu mengharumkan negeri ini.
Saya tahu tidak semuanya wakil rakyat yang duduk di sana itu koruptor, masih ada yang benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan negeri ini.
Saya tahu tidak semuanya wakil rakyat yang duduk di sana itu koruptor, masih ada yang benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan negeri ini.
Saya tahu
tidak semua wilayah Indonesia itu ketinggalan pendidikannya, ada sekolah
terpencil yang bagus. Mereka ada tapi
mereka minoritas bukan mayoritas.
Tugas kita menjadikan hal yang baik menjadi mayoritas dan yang buruk menjadi minoritas. Kedengaran tidak mungkin sepertinya. Tapi saya percaya Indonesia pasti bisa. Aku bisa! Kamu bisa! Dia bisa, mereka bisa. Kita bisa!
Tugas kita menjadikan hal yang baik menjadi mayoritas dan yang buruk menjadi minoritas. Kedengaran tidak mungkin sepertinya. Tapi saya percaya Indonesia pasti bisa. Aku bisa! Kamu bisa! Dia bisa, mereka bisa. Kita bisa!
Di hari ulang tahun ini saya mau
bilang
Dear
Indonesia,
Indonesia
Selamat Ulang Tahun. Semoga di hari ini kamu (masih) bisa tersenyum.
Kamu pasti bahagia sekali hari ini. Berjuta-juta orang mengucapkan selamat
untukmu. Berjuta-juta orang menjadikannmu gambarmu di media sosial mereka. Mereka mengibarkanmu, menghormatimu,
memperingatimu. Aku dan mereka masih
ingat kamu.
Aku
tak akan pernah berhenti mencoba untuk tidak hanya mengingatmu. Aku akan belajar mengerti, merawat, menjaga,
dan memberimu wangi hingga selalu harum.
Aku memang terkadang durhaka kepada ibumu, Ibu Pertiwi. Tapi dalam setiap jalanku, langkahku akan pulang padanya. Di hari ini di usiamu yang tak lagi muda. Enampuluh tujuh tahun kau lewati dalam merdeka.
Aku memang terkadang durhaka kepada ibumu, Ibu Pertiwi. Tapi dalam setiap jalanku, langkahku akan pulang padanya. Di hari ini di usiamu yang tak lagi muda. Enampuluh tujuh tahun kau lewati dalam merdeka.
Aku
hanya berharap merdeka memang ada nyatanya. Merdeka bagiku sederhana, melihat semua orang saling tersenyum dalam
beda.
Selamat
Ulang Tahun Indonesia
Jumat,
17 Agustus 2012
0 komentar