In
Book,
Cerpen
Lelaki Kopi
I’m
feeling mighty lonesome
Haven’t
slept a wink
I
walk the floor and watch the door
And
in between I drink
Black
coffee.....
Mataku terpejam sayup-sayup
terdengar suara mendayu-dayu milik Ella
Fitzgerad. Lagu bernuansa jazz yang indah Black
Coffee. Kusesap perlahan kopi di depan, secangkir espresso. Ini pertama kalinya aku membuat espresso dari mesin espresso
yang kubeli sendiri.
“Merah? Serius!” Mata biji kopinya
membulat penuh tanda ketidaksukaan. Aku tertawa melihat raut mukanya, saat
sedang marah pun dia terlihat lucu.
“Memangnya kenapa merah, Le? Aku
kan suka”, jawabku. Aku langsung jatuh cinta ketika melihat mesin espresso rumahan buatan Italy ini.
Desainnya yang vintage serta harga yang masih terjangkau dikantong. Dan yang paling pasti, Delonghi
Icona Vintage ECO 310 ini punya seri warna favoritku. Merah.
“Kata Mas yang jual, walau kecil
begini tapi canggih, Le. Selain espresso,
kamu bisa bikin cappucino sama latte! Tapi kalau kamu nggak suka modelnya,
ya, udah. Nanti aku cariin model yang lain.” Tiba-tiba sepasang tangan
memelukku dari belakang. Sebuah kecupan mendarat di pipi sebelah kanan.
“Makasih yah. Aku suka banget
kok.”
Semenjak hari itu dirinya tak
pernah absen membuat espresso. Rutinitas
harian di dapur sebelum berangkat kerja. Setelah berhari-hari puasa bikin espresso karena yang lama telah rusak. Hadiah ulang tahun ke-29 untuknya tak
sia-sia.
Kulirik ke arah kabin penyimpanan
barang, melihat benda bundar di atasnya. Pukul 2.15 pagi. Aku terbiasa duduk
sendiri di dapur menyeduh teh sembari diiringi alunan musik jazz. Ritual bila tak bisa tidur. Tapi
kali ini bukan teh melainkan kopi. Meneguk yang dicintainya selain aku.
I’m talking to the shadows
From 1 o’clock till 4
And lord, how slow the moments go
When all I do is pour
Black Coffee
“Le, kamu lebih milih nggak ada aku atau nggak
ada kopi di dunia ini?”, tanyaku saat melihatnya memasukkan bungkusan kopi ke
dalam ransel. Kami mau mengunjungi orang tuaku di Sukabumi. Kemana pun dia
pergi selalu membawa kopi bersamanya. Dia tak mau pernah sembarangan minum kopi
apalagi sachet. Itu bukan kopi
menurutnya.
“Na, kamu itu hati aku. Kopi itu jiwa aku. Aku
mencintai kamu sepenuh hati. Aku mencintai kopi sepenuh jiwa.”
“Apa bedanya sih Le, hati sama
jiwa. Bilang aja kamu nggak bisa tanpa kopi. Nggak usah alasan gitu.” Dia
memang pandai berbicara.
“Kamu sih pake nanyanya gitu. Aku
nggak bisa nggak ada dua-duanya. Kamu sama kopi”, jawabnya sambil menyeringai
lebar. Membuatku tak tega memarahinya.
Aku masih mengingat kejadian itu
dengan jelas. Tak masalah yang dicintainya kopi asal bukan perempuan lain. Mataku
menangkap senyumnya yang lebar di dapur ini. Tersenyum sambil memelukku di
sampingnya. Dia bersikeras menaruh satu bingkai foto di dapur. Katanya salah satu
rahasia kopinya menjadi nikmat karena melihat foto kami berdua saat membuatnya.
Selain kamar tidur, dapur adalah
tempat yang paling sering menghabiskan waktu berdua. Berbincang sepulang kerja
atau sesekali aku memasak untuknya. Dan paling sering menemaninya ngopi. Aku suka
melihatnya menyeduh kopi. Dan aku teringat pertama kali mencicipi kopi
kesukaannya.
I’m moaning all the morning
And mourning all the night
And in between it’s nicotine
And not much heart to fight
Black coffee
“Kopi yang paling kamu suka apa, Le”, tanyaku
sambil melihat wajahnya yang begitu serius sedang menyium biji kopi yang baru
dibelinya. Aku penasaran karena dia sangat mencintai kopi. Bagiku rasa kopi selalu
sama. Pahit. Dan aku pasti langsung diceramahi abis-abisan ketika mengutarakannya
pendapat itu.
“Aku suka semuanya, Na. Setiap
kopi itu punya karakter masing-masing. Jadi selagi itu namanya kopi aku suka."
“Yang paling kamu suka, Le. Aku
mau tahu!” Setengah memaksa aku bertanya.
“Mhm..aku suka kopi Indonesia. Single Origin, Toraja Yale”, sahutnya
“Toraja Yale? Kenapa?
“Karena mirip namaku. Gale. Gale
dan Yale kan pas, Na!” Dahiku mengernyit tak menyangka alasannya sesederhana
itu. Melihat wajahku yang terkejut itu. Gale tertawa.
“Selain itu, ya, karena rasanya.
Kamu harus coba. Aku bikinin buat kamu.”
Gale tahu aku tak suka kopi. Tapi
aku selalu tersihir setiap kali melihatnya menyeduh kopi. Aku tak pernah
melihatnya seserius itu di hidupnya selain membuat kopi.
‘Ini namanya Toraja Yale, Na.
Asalnya dari Toraja Utara. Di atas bukit yang namanya Lembang Sapan di kecamatan Buntu Pepasan.” Gale menjelaskan sambil
menunjukkan bungkusan dan butiran kopi di dalamnya. Aku takjub dirinya hapal
sedetail itu.
“Aku grinding dulu yah biar fresh." Mataku menyapu yang terlihat di depan mini bar dapur kami. Gale punya semua
keperluan untuk menyeduhnya. Sebut saja timbangan digital, teko, timer, lalu semacam bentuk cangkir kerucut yang nanti air kopinya menetes ke
wadah di bawahnya. Aku tak tahu apa namanya. Tapi sering melihat Gale menuangkan air ke cangkir
berbentuk kerucut itu.
“Nah, ini udah halus, yang aku grinding tadi biji kopinya light roast. Nggak terlalu pahit” Aku mendengarkan dengan seksama apa yang
dijelaskannya. “Karena ini Toraja Yale aku lebih suka manual brewing nggak pake mesin. Pake alat-alat ini”, tunjuk Gale
ke semua perlengkapan yang ada di depannya. “Manual V60!”
“V60? Apa itu Le?”, sahutku
bingung. Aku tak pernah menyangka untuk perkara menyeduh kopi saja, begitu
banyak macam cara dan istilahnya. Aku kira hanya bubuk kopi diseduh air panas. Bila
terlalu pahit tambah gula. Beres.
“Nggak diseduh air panas aja, Le?
Kok ribet amat?” Gale tersenyum.
“Kalau itu kopi tubruk, Na, diminum
sama ampasnya. Kalau diseduh dengan cara begini karakter kopinya keluar, clean nggak ada ampasnya. V60 itu
sebenarnya nama alat ini. Ini Hario V60!” Gale memperlihatkannya padaku. Jadi yang
aku pikir cangkir berbentuk kerucut ternyata itu V60 namanya.
Aku melihat Gale menyiapkan
sebuah kertas ke dalam cangkir kerucut itu. Dan melihatnya membasahinya dengan
air panas. “Dibasahin dulu filter
kertasnya biar nggak rusak rasa kopi. Aku bikinin yang soft yah buat kamu.” Aku mengangguk. Aku serahkan semua pada Gale.
Gale terlihat sibuk menakar bubuk
kopi, menghidupkan timer. Dan dia
terlihat bersungguh-sungguh. Sebenarnya ekspresi dan gestur Gale lebih menarik
dibandingkan rasa kopi yang akan kucicipi.
Tangannya pelan-pelan menuangkan
air, membentuk gerakan melingkar. Terdiam sesaat lalu mengulangnya kembali.
Perlahan air kopi menetes ke bawah. Setelah semua air turun. Gale menuangkannya
ke dalam gelas.
“17 gram kopi, ratio1:12 , digiling
medium, light roast, suhu 85 derajat.
Waktu brewing kurang dari 2 menit.
Toraja Yale spesial buat Nona Rena”, Gale mengoceh tanpa aku tahu sedikit pun
mengerti maksudnya.
“Sebelum diminum cium dulu
aromanya, Na”, ujar Gale menyarankan. Kuhirup aroma yang keluar dari kopi yang
panas. “Wangi, Le. Kok nggak item?” Kopi dihadapanku tidak berwarna hitam
seperti biasa yang kulihat.
“Iya sengaja buat kamu aku
bikinin yang soft. Cobain deh”,
perintahnya. “Diseruput pelan-pelan.”
Perlahan kusesap kopi favorit
Gale ini. “Asam Le,” ujarku. Tapi anehnya rasanya nggak pahit dan nggak kuat seperti
yang aku kenal. “Nggak pakai gula?”
“Cara yang baik untuk tahu
karakter kopi itu diminum tanpa gula. Pahit nggak?” Aku menggeleng. “Mungkin
karena kamu masih belum terbiasa bedain rasa kopi.”
Gale mencium kopi yang
dibuatkannya untukku dan menyeruputnya. “Kalau bagi aku Yale itu karakternya
manis, asam, markisa, tamarind, caramel. Aku suka banget. Dan aromanya
yang earhty rasanya fruity.
Ekspresinya
malam itu terekam abadi di ingatanku. Gale. Galaksi Bima Sakti. Sedari kecil
dipanggil Gale. Lelaki yang menikahiku dua tahun lalu. Seperti namanya Gale
adalah pusat sistem tata surya dalam kehidupanku. Dia berhasil menyedotku ke
dalam lubang hatinya. Tak hanya namanya yang menarik. Keseluruhannya mampu menarik
aku jatuh cinta setiap hari padanya.
Kulirik ponsel di samping kiriku.
Tergoda untuk membukanya walau aku tahu apa yang akan terjadi. Tanganku bergerak
meski hatiku menolak. Kusentuh lambang
pesan. Bergerak mencari pesan darinya.
From : Lelaki Kopi
Rena sayang, aku udah sampai di
pos 5. Sebentar lagi sampai ke puncak. Kalau aku telat ngabarin, berarti
sinyalnya susah. I love you. Miss you to
the mount and back. Muachh..
Friday, Aug 2, 20:21
Dikirim 19 hari yang lalu. Pesan
terakhir darinya. Gale dinyatakan hilang sehari setelahnya. Tim SAR berhenti
mencari semenjak beberapa hari yang lalu. Gale pergi ke Toraja melihat langsung
yang begitu disukainya. Kebun kopi dan mendaki gunung.
Kueja satu-satu setiap kata yang
ditulisnya. Tak peduli ribuan kali melihat pesan itu seluruh sendiku rontok.
Hatiku melorot ke jurang paling dasar. Dan mataku bagai aliran sungai yang tak
berhenti mengalir. Tapi malam ini aku rayakan dengan secangkir kopi dan
senandung lagu.
Pelan-pelan kuelus perutku yang masih rata.
Aku punya kabar bahagia bila Gale pulang. Aku juga membeli banyak biji kopi untuknya kemarin. Espresso
mulai dingin. Kopi tak lagi pahit tapi asam. Di belakang lirih masih terdengar
alunan dari piringan hitam.
Black coffee
Feelin’ low as the ground
It’s driving me crazy just
waiting
for my baby
for my baby
To maybe come around..around
I’m waiting for my baby
To maybe come around
~ Ella Fitsgerald “Black Coffee”