Keinginan melihat Festival Perang Air atau Cian Cui pupus
sudah. Sebuah festival ala Sonkran yang saya dengar seperti di Thailand dan katanya seru
sekali, dilaksanakan setahun sekali di Selatpanjang menyambut Imlek.
Gelombang pasang yang cukup tinggi dan belum menemukan teman berjalan, mengurungkan niat saya ke
sana. Perjalanan dari Pekanbaru ke Selatpanjang harus ditempuh dengan
perjalanan darat dan laut kurang lebih selama lima jam.
Akhirnya saya pasrah, hanya menatap Festival Perang Air dari
layar kaca. Jari saya tak berhenti scrolling
gambar, melihat kemeriahan
Festival Perang Air dan mantan di hari Imlek. Keduanya bahagia dan meriah.
Mendung bergelayut sedari pagi, hujan mengintai mau turun.
Belakangan ini Pekanbaru diguyur hujan hampir setiap hari. Kota yang biasanya
panas ini, ralat sangat panas, kini sedang mellow-mellow-nya.
Kalau hujan di hari Imlek berarti itu pertanda baik. Rejeki
akan mengalir turun setahun ke depan. Itu yang teman sekolah saya dulu katakan.
Setelah bosan kepo tak henti-henti melihat handphone dari satu
sosial media ke sosial media lainnya, saya putuskan keluar melihat kemeriahan Imlek di
Pekanbaru. Kecewa tidak menghantarkan saya ke mana-mana. Saya harus bergerak.
Pekanbaru adalah ibukota provinsi Riau. Riau sendiri adalah
salah satu provinsi yang jumlah konsentrasi
etnis Tionghoa cukup banyak dan toleran.
Terletak di bagian tengah pantai
timur Pulau Sumatera dan berada di pesisir sepanjang Selat Melaka, membuat Riau
menjadi persinggahan serta masuknya masyarakat Tionghoa sedari dulu.
Sampai ke pelosok
kota kecil di Riau pun keturunan Tionghoa ada. Dan paling banyak
tersebar di tiga kota yaitu Bagansiapiapi, Selatpanjang dan Bengkalis.
Imlek dirayakan besar-besaran dan begitu meriah di ketiga
kota ini. Seperti Festival Perang Air (Cian Cui) di Selatpanjang, Bakar Kapal Tongkang di Bagansiapiapi dan di Bengkalis akan ada acara meriah di Kelenteng.
Sebagai Ibukota Provinsi, Pekanbaru juga menjadi tempat
tinggal etnis Tionghoa. Dan sejenak saya ingin merasakan Tahun Baru Cina 2568
kali ini.
Cuaca dan hati yang mendung tidak menghalangi langkah saya.
Bergerak ke kawasan pecinan di Jalan Dr.Leimena atau yang lebih dikenal Jalan
Karet. Perayaan Imlek di Pekanbaru berpusat di kawasan ini. Dikarenakan
keturunan Tionghoa di Pekanbaru banyak bermukim di daerah Jalan Karet.
Sabtu sore pukul 4, belum ada tanda kemeriahan apa-apa di
kawasan Jalan Karet selain lampion yang bergelantungan, jalanan basah sisa
hujan dan hati yang menyibukkan diri. “Nanti malam pasti ramai’, pikir saya.
Sembari menunggu malam hari saya pergi ke Vihara di sekitar
kawasan tersebut. Vihara Surya Dharma begitu nama yang tertera di dinding
depan. Aroma hio yang dibakar mengisi udara menelisik indera penciuman saya. Saya mengambil beberapa foto di halaman Vihara.
Vihara Surya Dharma
|
“Kalau mau foto-foto ke atas saja”, ujar Akong yang melintas
lewat melihat saya tengah mengambil foto. Awalnya saya sedikit ragu apa boleh mengambil foto di atas. Dan karena
ajakan Akong saya lantas langsung naik ke atas.
Di atas saya melihat masih ada tersisa beberapa orang tengah sembahyang. Tidak
terlalu ramai, karena hari sudah sore, yang lain sudah pulang.
Mempersiapkan Dupa |
Sembahyang |
Perlahan saya
menghampiri beberapa pria paruh baya yang sedang bercerita. Mencoba bertanya mengenai
perayaan Imlek. Mereka lalu menunjuk satu orang yang menjadi penanggung jawab
Vihara Surya Dharma ini.
Kong Aseng begitu dia minta dipanggil. Kong Aseng
menjelaskan Vihara Surya Dharma ini dibangun pada tahun 1982, tapi belum di
atas tanah yang sekarang. Sejak 16 tahun lalu baru Vihara ini pindah. Secara bertahap dlakukan renovasi sampai bertingkat dan permanen.
Kong Aseng |
“Di sini kita umum. Apapun agamanya, Dewanya, boleh
sembahyang di sini. Pertama kali harus menyembah Tuhan di depan pintu”, ujar
Kong Aseng sambil menunjuk sebuah altar di depan. “Menyembah Tuhan di atas”,
tambahnya.
Awalnya saya bingung apa yang dimaksud Kong Aseng. Setelah
cari tahu perbedaan Kelenteng dan Vihara, saya baru mengerti. Umumnya vihara
adalah rumah ibadah bagi umat Budha. Dan tidak semua keturunan Tionghoa
beragama Budha ada Konghuchu dan Tao. Vihara Surya Dharma ini
bersifat umum seperti Kelenteng.
Dewa-Dewa |
Dewa Penjaga Pintu |
Makna Imlek bagi Kong Aseng adalah ungkapan rasa syukur.
Setelah melewati setahun yang lalu berterima kasih dan berdoa untuk kesehatan, rejeki,
kebahagiaan untuk setahun ke depan. Di mana tahun ini adalah Tahun Ayam Api.
Di sela-sela pembicaraan, Kong Aseng mengupas jeruk lalu
mengunyahnya perlahan. “Ini jeruk dimakan, Imlek kita harus makan yang
manis-manis”, katanya sambil memberi saya sebuah jeruk yang saya terima dengan
senyum lebar.
Lilin Terus Dinyalakan Agar Harapan Tetap Menyala dan Menerangi |
Kong Aseng menjelaskan perayaan Imlek adalah saatnya
berkumpul dengan keluarga. Mereka yang muda atau anak berkumpul di rumah orang
tua. “Seperti lebaran”, pikir saya. Angpao juga tak lupa dibagikan sebagai doa
kepada anak mereka. Angpao diberikan kepada mereka yang belum menikah.
“Kami sangat percaya karma, kita harus berbuat baik”, kata
pria paruh baya berusia 70-an itu. Kong Aseng bilang dia lahir sebelum merdeka.
Saya hanya menerka usianya masih di kepala tujuh dari perawakannya.
Selain jeruk, saya juga diberi pao bewarna pink berisi
kacang merah di dalamnya. Senyum tak lepas dari wajah saat menerimanya. Hati
saya hangat ditaburi keramahan mereka semua. Saya disambut dan dijamu dengan
baik.
Pinky Pao dan Jeruk |
Kemeriahan Imlek saya rasakan gempita di dalam hati.
Saya harus merayu Kong Aseng untuk berpose seperti ini. "Malu", katanya |
Pengurus Vihara Surya Dharma |
Hari beranjak senja, saya pamit pulang. Kong Aseng
mengantarkan saya ke depan pintu dan berkata Vihara ini ramai tadi pagi dan ada
barongsai juga. Ah, saya terlambat!
Saya kembali menuju ke kawasan pecinan, Jalan Karet. Jalan
yang panjangnya cuma 148 meter itu mulai dipadati pengunjung. Lampu lampion
yang berjumlah 1888 setiap tahunnya mulai dinyalakan.
Lampion yang berjumlah 1888 buah. |
Lokasi ini menjadi tempat yang menarik untuk mengambil foto.
Mata saya menyapu ke sekeliling, sejauh memandang saya melihat penduduk lokal
di mana-mana. Saya menanti acara apa yang akan disuguhkan di tanggal 1 Tahun
Baru Cina ini.
First, Let Us Take A Selfie! |
Dan saya harus menelan kekecewaan. Ternyata bazar dan acara
sudah dilaksanakan pada tanggal 19-22 Januari kemarin. Tema perayaan Imlek di Kota Pekanbaru bertema “Dengan Semangat
Bhineka Tunggal Ika, Kita Bangun NKRI yang Sejahtera dan harmonis”.
Berbeda dengan tahun sebelumnya, Imlek tahun ini mengajak
semua golongan, suku dan agama berpartisipasi di pertunjukkan yang diadakan untuk menyambut Imlek.
Aksi Salah Satu Paguyuban di Imlek Source : NADA RIAU |
Perayaan Imlek tahun ini menampilkan ragam budaya. Semua
padu dalam satu pertunjukkan dan berbondong-bondong masyarakat menontonnya. Bahkan ada parade baju daerah katanya.
Tapi saya hanya melihat panggung kosong. Saya menyesal karena tidak
menyaksikan pertunjukan bersama-sama itu. Melihat semua membaur dalam beda.
Panggung Kosong Seperti Hati. |
Penyesalan selalu datang terlambat. Di awal pikiran saya dipenuhi
dengan pergi melihat Festival Perang Air (Cian Cui). Terkadang kita memang
terlalu sibuk memikirkan sesuatu yang jauh dan tidak pasti, sampai lupa membuka
mata ada hal yang indah di dekat kita.
Semakin malam Jalan Karet semakin ramai. Apapun sukunya,
agamanya semua bersuka cita tanpa ada prasangka. Hati saya terasa hangat
kembali untuk kedua kalinya. Lampion merah berpendar-pendar di atas kepala
menerangi semua.
Melihat kemeriahan Imlek malam itu, tak lupa sebuah pesan saya kirim, mengucapkan selamat Imlek kepada
salah satu teman yang merayakannya. Tak sampai di situ, saya juga mengajukan
pertanyaan demi pertanyaan perihal Imlek. Dengan sabar dia menanggapinya sampai
satu jawaban membuat saya tersadar.
“Imlek itu merayakan tahun baru. Sama aja kayak orang Cina,
Jawa, Arab merayakan tahun baru masehi 1 Januari. Siapapun boleh merayakan.
:)”, balasnya.
Hati saya hangat untuk ketiga kali di hari itu. Imlek adalah bukan untuk
siapa-apa. Imlek adalah perayaan bersama. Hari ini saya belajar dari perayaan
Imlek di kota ini dan dari orang-orangnya. Saya bersyukur.
Acara Imlek di Pekanbaru "Dengan Semangat Bhinneka Tunggal Ika, Kita Bangun NKRI yang Sejahtera dan Harmonis" |
Saya juga ingin melihat Festival Imlek Indonesia lainnya.
Melihat keanekaragaman tradisi dan budaya. Katanya semakin kita banyak
berjalan, mendengar dan merasa, hati kita akan terbuka. Menghargai perbedaan
dan saling mengerti.
Festival Imlek Indonesia di Palembang |
Di perayaan Imlek tahun ini, saya berdoa agar negara ini
baik-baik saja. Semua tersenyum dalam beda. Dan saya bersyukur kota saya, tanah Melayu mampu bersanding dengan budaya lain tanpa ada curiga.
Saya keturunan setengah Melayu dan setengah Jawa dan saya ikut merayakan Imlek. Karena Imlek adalah sukacita kita semua. Bagi yang selalu bersyukur dan berdoa. Karena
Imlek bukan perayaan siapa-siapa. Imlek adalah perayaaan bersama.
“Makan jeruknya. Katanya kalau manis setahun ke depan
hidupnya bagus, kalau asam berarti susah”, terang teman saya yang menemani
melihat perayaan Imlek sewaktu pulang.
Saya nggak percaya, tapi kalau asam tentu nggak enak. Dan untuk pertama kalinya seumur hidup saya grogi mengupas jeruk. Saya ambil satu bagian dan kunyah secepatnya. Air jeruk langsung mengisi ruang mulut.
Mata saya reflek terbuka lebar.